Cerbung belum ada judul #3

Kalea Mataangin terpaku menatap pintu rumah bercat putih itu. Ini adalah hari ke 3 pasca Rav menutup pintu dengan kasar tepat di depan wajahnya. Kalea heran, dari kemarin hingga hari ini total telah ada 3 paket rantang yang ia bawakan tapi tak satupun berhasil berpindah tangan ke Rav. Ini tidak seperti biasanya.

Ada apa dengan Rav? pikir Kale.
Apa mungkin ada yang salah dengan apa yang pernah ia ucapkan sebelumnya?
Atau Rav sakit? Kale khawatir.

Karena bahkan setelah Suffocation, Kale tak pernah lagi mendengar dentingan piano khas Rav.
Ini membuatnya frustasi. Namun, ia hanya tetangga yang memiliki rasa penasaran yang tinggi. Kale bukanlah siapa - siapa bagi Rav begitupun sebaliknya. Semuanya hanya dilandaskan pada rasa penasaran.

Kale berupaya mencari celah untuk mengintip di sela jendela besar yang tertutup gordeyn tebal berwarna pastel. Ga keliatan apa - apa pikirnya. Ia kemudian berjalan ke arah garasi mobil di samping rumah Rav, masih mencari celah jendela lain yang mungkin bisa ia akses, namun gagal juga. Berdiri sambil menyandarkan punggungnya di tiang penyangga beranda depan sambil menghadap jalanan depan rumah. 

Komplek ini, komplek hantu pikirnya. Kalau terjadi apa - apa dengan pemilik rumah yang bisa diandalkan hanya diri sendiri dan satpam yang kadang main hp sambil rebahan, kadang malah sampai tertidur. 
Mudah - mudahan saja Rav ga kenapa - kenapa.

Kale akhirnya menyerah. Segera ia beranjak dari tempatnya bersandar dan perlahan berjalan kembali menuju rumah yang telah menaunginya selama 3 tahun terakhir. Kale sendiri memang bukan penduduk asli. Ia dipercaya mengurus rumah milik sahabatnya, setelah Ia mengaku ingin kabur dari kehidupannya di Jakarta. 3 tahun yang membuatnya betah. Walaupun komplek perumahan ini banyak yang tak berpenghuni, ataupun terkadang berpenghuni saat liburan tiba, tak pernah sekalipun membuatnya merasa ketakutan. 

Kesepian, terkadang menyesap ke relung jiwanya, namun tak sampai ingin membuatnya meninggalkan pulau ini, kota ini, komplek ini, bahkan rumah yang menurutnya adalah bagian dari dirinya. 
Lucu, bahkan temannya tak terlalu mempedulikan keberadaan rumah yang ia tinggali ini. 

Langkah gontainya perlahan meninggalkan rumah Rav yang tak berpagar. 
"prang....."
Seketika langkah Kale terhenti akibat suara keras benda yang berasal dari dalam rumah Rav.
Ia membalikkan langkahnya dan berjalan cepat ke arah pintu utama, lalu memukul - mukul pintu bercat putih itu.
"Rav, kamu gapapa? buka pintunya plis..." teriak Kale
Kale menempelkan telinganya ke pintu berharap mendengar apapun dari dalam rumah. Ia butuh petunjuk.

Tiba - tiba saja pintu rumah terbuka, nampak Rav dengan raut wajah penuh amarah, dan darah.
Seketika kale berupaya meraih pipi Rav yang tercoreng darah.
"Kamu kenapa, Rav?" tanya Kale tak sabar.
"Pergi! Pergi! Pergi! Jangan ganggu aku!" bentak Rav.
Kale kaget tak menyangka akan diperlakukan seperti itu, namun Ia mencoba menenangkan diri dan mulai memperhatikan Rav dengan lebih detail. Tampak tangan Rav terluka parah. Mungkin terkena pecahan benda yang tadi menimbulkan suara cukup keras.
Kale berpikir tidak mungkin Rav punya persediaan obat - obatan. Ia saja tak peduli dengan makanannya sendiri. Apalagi obat - obatan. 

"Oke, aku pergi, tapi abis tangannya diobatin ya Rav," bujuk Kale.
Tak sadar akan tangannya yang terluka ia mendorong Kale untuk segera pergi menjauhi dirinya. Tak bertenaga. Rupanya 3 hari tanpa asupan makanan membuat Rav lemas.

"Plis, aku obatin dulu tangannya, setelah itu aku pergi," pinta Kale memelas.

Tiba - tiba Rav terjatuh tak mampu menopang lagi tubuhnya sendiri. Ia tersungkur dan terduduk. Kale segera membalikkan badan, Ia ingin berlari ke rumahnya dan mengambil obat - obatan yang diperlukan. Tapi tangan Rav mencegahnya. Kale yang tak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya ikut tersungkur dan terduduk menghadap Rav.

Tiba - tiba mata cokelat milik Rav meneteskan air mata, Ia memandang Kale dengan tatapan memohon.

"Tolong aku, Kale," kata Rav.

Komentar

Postingan Populer