Kale
kembali mengetuk pintu besar bercat putih milik rumah tetangganya. Bukan rumah
baru, tapi rupanya baru dicat. Aroma catnya cukup keras untuk membuat kepalanya
pusing.
Dari
dalam rumah terdengar suara langkah samar mendekati pintu. Bunyi klik 2 kali,
rupanya suara kunci diputar, gagang pintu ditarik membuka, kemudian terlihatlah
sang pemilik rumah. Wajahnya menyembul dari balik pintu.
Kale
membatin, apakah dia yang mendentingkan suara piano dengan berbagai komposisi
klasik itu? Tiga minggu ini malam-malamku tak sesepi biasanya. Tapi anehnya
raut wajah dihadapanku ini seolah menampilkan drama-drama kesepian. Ironis.
Kale
tersenyum ramah.
”Siang...”
Sang
pemilik rumah hanya merespon dengan pandangan ingin tahu. Kale masih
mempertahankan senyumnya.
”Mmm...Maaf
ganggu ya. Saya cuma mau menyapa tetangga baru.....”
Kale
menunggu. Tapi respon yang diperoleh hanya sebatas picingan mata yang makin
lama terasa semakin menusuk saja. Tanpa sadar, Kale mencodongkan tubuhnya ke depan, melangkahkan kakinya
perlahan mendekati pemilik rumah. Sekarang jarak mereka berdua hanya dibatasi
oleh pintu besar.
”Ini, saya
bawakan pumkin pie. Bikinan sendiri loh” ujar Kale seraya mengangkat bungkusan
kertas biru tua yang dari dalamnya tercium aroma pie. Wangi kue samar-samar
menyeruak di udara. Sepertinya baru matang.
Si pemilik
rumah mengalihkan pandangannya menuju bungkusan itu. Perlahan pintu ia buka,
sehingga menampilkan profil lengkap dari kepala hingga kaki si pemilik rumah.
Ada aroma lain yang menyeruak di udara. Kale mengindera aroma itu, ya aroma
tubuh si pemilik rumah. Kale tertarik.
Tampan, batin
Kale.
Tapi raut wajah
itu, ekspresi itu, pelan-pelan berubah, tidak lagi memicingkan mata tapi tidak
juga tersenyum.
Kale
kembali mengangkat bungkusan pumkin pie yang ia buat pagi ini. Berharap
bungkusan itu segera berpindah tangan ke pemilik rumah ini.
”Nih...”
Ragu-ragu
si pemilik rumah mengambil tas berbahan kertas itu.
”Thanks...”
jawab si pemilik rumah singkat. Suaranya serak, berat, khas sekali, sangat maskulin.
Kale
menjulurkan lehernya melihat-lihat ingin tahu ke arah dalam rumah. Tapi sang
pemilik rumah tidak terlihat ingin mempersilakannya masuk ke dalam rumahnya.
Rupanya merasa sedikit terganggu dengan kehadiran Kale.
”Kalo boleh sih
pengen ngobrol-ngobrol sekalian....” kali ini Kale berharap diajak masuk, tapi
si pemilik rumah hanya bergeming.
”eh tadi malem
mainin Chopin ya? Nocturne bukan?”
Ekspresi dingin
itu berubah, si pemilik rumah tampak kaget, dan tanpa sengaja melepas pegangan
tangannya dari gagang pintu rumah. Seketika Kale melangkahkan kakinya masuk ke
dalam rumah yang bercat serba putih itu. Ternyata interiornya miskin perabotan.
Tidak ada kursi, meja, lemari, bahkan tv pun tidak tampak terlihat. Hanya grand
piano hitam merajai dan mendominasi ruangan utama rumah itu. Di samping kiri
piano horden melambai-lambai tertiup angin pantai. Jendela dibuka sekadarnya.
Kale sadar ia berlaku tidak sopan. Tapi melihat grand piano ditengah ruangan
itu ia lantas mengangguk mengerti.
”Jadi ini ya
yang menghasilkan suara 3 minggu terakhir ini” Kale tersenyum menang. Semua
rasa penasarannya terobati. Lalu ia menyodorkan tangannya.
”Kalea
Mataangin....panggil Kale aja. Karena kita cuma berdua doang yang tinggal di
kawasan ini ya ada baiknya saling kenal biar kalo ada apa-apa bisa nolongin, ya
ga?” lagi Kale menyunggingkan senyumnya.
Si pemilik
rumah tidak menyambut tangan Kale.
”tunggu
sebentar saya ganti tempatnya dulu.”
Kale menurunkan
tangannya. Kecewa. Kembali ia menaruh perhatiannya pada grand piano itu.
Melihatnya dari dekat, tanpa berani menyentuh. Takut kalau-kalau si pemilik
rumah tidak berkenan. Kale tau batasan.
Terpesona pada
warna hitamnya yang mengkilat, ahh ingin rasanya ia melihat langsung permainan
piano dan mendengar langsung komposisi favoritnya dimainkan saat itu juga.
Selama ini kekagumannya pada musik klasik hanya bisa terbayar dengan
mendengarkan melalui cd-cd dan mp3 yang berhasil ia download dari situs-situs
ilegal. Tapi 3 minggu ini pengecualian.
”ini sudah saya
cuci” Kale menerima sodoran tas kertas miliknya yang sekarang jauh lebih enteng
dari sebelumnya.
”oke deh...o
iya...." Kale memutar bola matanya bingung menentukan panggilan apa yang
pas
"anda
tinggal sendirian?" akhirnya Kale memutuskan untuk menggunakan Anda bukan
Kamu, bukan Mas, Bukan Bapak.
Hening sejenak,
Kale menunggu jawaban dari si pemilik rumah yang kali ini dijawab
"ya" dengan anggukan pelan.
Kale ber
"O" panjang. Dan yak terjawab sudah siapa pemilik jari-jari yang
memainkan piano. Kale tersenyum lagi kali ini lebih lebar.
"boleh
tanya, 2 malam sebelum kemarin, hmmm...anda mainin Clair de lune bukan ya? Cuma
nanya sih” Dan hanya dibalas anggukan singkat.
”oooh...ok,
sekali lagi sori ya ganggu, tapi kalo butuh apa-apa ketok aja rumah
sebelah."
"Balik
dulu ya" Kale melambaikan tangannya sejenak sebelum akhirnya memutuskan
melangkah keluar dari rumah pantai bernuansa minimalis. Rumah pantai yang
hangat sayang tidak sehangat pemilik rumahnya.
sebelum
melangkah terlalu jauh, Kale membalikkan badan.
"Lebih
enak lagi kalo tau nama anda, biar lebih kenal aja" Kale menunggu.
"Panggil
aja Rav."
Kale membatin:
Rav dari Ravel?
Dari namanya
aja udah klasik banget..
Atau
rafael ? Atau Raffi Ahmad kali ya. Ah sudahlah
Komentar
Posting Komentar