Cerbung Belom Ada Judul


Tok tok tok....
Hening sejenak.
2 detik...3 detik....

Kale kembali mengetuk pintu besar bercat putih milik rumah tetangganya. Bukan rumah baru, tapi rupanya baru dicat. Aroma catnya cukup keras untuk membuat kepalanya pusing.
Dari dalam rumah terdengar suara langkah samar mendekati pintu. Bunyi klik 2 kali, rupanya suara kunci diputar, gagang pintu ditarik membuka, kemudian terlihatlah sang pemilik rumah. Wajahnya menyembul dari balik pintu.
Kale membatin, apakah dia yang mendentingkan suara piano dengan berbagai komposisi klasik itu? Tiga minggu ini malam-malamku tak sesepi biasanya. Tapi anehnya raut wajah dihadapanku ini seolah menampilkan drama-drama kesepian. Ironis.

 

Kale tersenyum ramah.
”Siang...”
Sang pemilik rumah hanya merespon dengan pandangan ingin tahu. Kale masih mempertahankan senyumnya.

 

”Mmm...Maaf ganggu ya. Saya cuma mau menyapa tetangga baru.....”
Kale menunggu. Tapi respon yang diperoleh hanya sebatas picingan mata yang makin lama terasa semakin menusuk saja. Tanpa sadar, Kale mencodongkan tubuhnya ke depan, melangkahkan kakinya perlahan mendekati pemilik rumah. Sekarang jarak mereka berdua hanya dibatasi oleh pintu besar.

 

”Ini, saya bawakan pumkin pie. Bikinan sendiri loh” ujar Kale seraya mengangkat bungkusan kertas biru tua yang dari dalamnya tercium aroma pie. Wangi kue samar-samar menyeruak di udara. Sepertinya baru matang.

 

Si pemilik rumah mengalihkan pandangannya menuju bungkusan itu. Perlahan pintu ia buka, sehingga menampilkan profil lengkap dari kepala hingga kaki si pemilik rumah. Ada aroma lain yang menyeruak di udara. Kale mengindera aroma itu, ya aroma tubuh si pemilik rumah. Kale tertarik.
Tampan, batin Kale.
Tapi raut wajah itu, ekspresi itu, pelan-pelan berubah, tidak lagi memicingkan mata tapi tidak juga tersenyum.

 

Kale kembali mengangkat bungkusan pumkin pie yang ia buat pagi ini. Berharap bungkusan itu segera berpindah tangan ke pemilik rumah ini.
”Nih...”
Ragu-ragu si pemilik rumah mengambil tas berbahan kertas itu.
”Thanks...” jawab si pemilik rumah singkat. Suaranya serak, berat, khas sekali, sangat maskulin.

 

Kale menjulurkan lehernya melihat-lihat ingin tahu ke arah dalam rumah. Tapi sang pemilik rumah tidak terlihat ingin mempersilakannya masuk ke dalam rumahnya. Rupanya merasa sedikit terganggu dengan kehadiran Kale.

 

”Kalo boleh sih pengen ngobrol-ngobrol sekalian....” kali ini Kale berharap diajak masuk, tapi si pemilik rumah hanya bergeming.
”eh tadi malem mainin Chopin ya? Nocturne bukan?”

 

Ekspresi dingin itu berubah, si pemilik rumah tampak kaget, dan tanpa sengaja melepas pegangan tangannya dari gagang pintu rumah. Seketika Kale melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah yang bercat serba putih itu. Ternyata interiornya miskin perabotan. Tidak ada kursi, meja, lemari, bahkan tv pun tidak tampak terlihat. Hanya grand piano hitam merajai dan mendominasi ruangan utama rumah itu. Di samping kiri piano horden melambai-lambai tertiup angin pantai. Jendela dibuka sekadarnya. Kale sadar ia berlaku tidak sopan. Tapi melihat grand piano ditengah ruangan itu ia lantas mengangguk mengerti.

 

”Jadi ini ya yang menghasilkan suara 3 minggu terakhir ini” Kale tersenyum menang. Semua rasa penasarannya terobati. Lalu ia menyodorkan tangannya.
”Kalea Mataangin....panggil Kale aja. Karena kita cuma berdua doang yang tinggal di kawasan ini ya ada baiknya saling kenal biar kalo ada apa-apa bisa nolongin, ya ga?” lagi Kale menyunggingkan senyumnya.
Si pemilik rumah tidak menyambut tangan Kale.

 

”tunggu sebentar saya ganti tempatnya dulu.”
Kale menurunkan tangannya. Kecewa. Kembali ia menaruh perhatiannya pada grand piano itu. Melihatnya dari dekat, tanpa berani menyentuh. Takut kalau-kalau si pemilik rumah tidak berkenan. Kale tau batasan.

 

Terpesona pada warna hitamnya yang mengkilat, ahh ingin rasanya ia melihat langsung permainan piano dan mendengar langsung komposisi favoritnya dimainkan saat itu juga. Selama ini kekagumannya pada musik klasik hanya bisa terbayar dengan mendengarkan melalui cd-cd dan mp3 yang berhasil ia download dari situs-situs ilegal. Tapi 3 minggu ini pengecualian.

 

”ini sudah saya cuci” Kale menerima sodoran tas kertas miliknya yang sekarang jauh lebih enteng dari sebelumnya.
”oke deh...o iya...." Kale memutar bola matanya bingung menentukan panggilan apa yang pas

 

"anda tinggal sendirian?" akhirnya Kale memutuskan untuk menggunakan Anda bukan Kamu, bukan Mas, Bukan Bapak.
Hening sejenak, Kale menunggu jawaban dari si pemilik rumah yang kali ini dijawab "ya" dengan anggukan pelan.
Kale ber "O" panjang. Dan yak terjawab sudah siapa pemilik jari-jari yang memainkan piano. Kale tersenyum lagi kali ini lebih lebar. 

 

"boleh tanya, 2 malam sebelum kemarin, hmmm...anda mainin Clair de lune bukan ya? Cuma nanya sih” Dan hanya dibalas anggukan singkat.
”oooh...ok, sekali lagi sori ya ganggu, tapi kalo butuh apa-apa ketok aja rumah sebelah."
"Balik dulu ya" Kale melambaikan tangannya sejenak sebelum akhirnya memutuskan melangkah keluar dari rumah pantai bernuansa minimalis. Rumah pantai yang hangat sayang tidak sehangat pemilik rumahnya.
sebelum melangkah terlalu jauh, Kale membalikkan badan.

 

"Lebih enak lagi kalo tau nama anda, biar lebih kenal aja" Kale menunggu.
"Panggil aja Rav."
Kale membatin: Rav dari Ravel?
Dari namanya aja udah klasik banget..
Atau rafael ? Atau Raffi Ahmad kali ya. Ah sudahlah

Komentar

Postingan Populer