Cerbung belom ada judul #2
Dalam sebuah hubungan, yang terpenting adalah kepercayaan. Itulah yang menjadi prinsip dari Muhammad Ravaelo Maurice. Dari lahir hingga kini, mamanyalah yang menjadi petunjuk, pengasuh, pembimbing. Dari mengawali langkah pertamanya sebagai bocah berusia 2 tahun, menjentikkan jari telunjuknya pada sebuah piano mainan yang dibeli papanya di toko pinggir jalan, memilihkan sekolah, sepatu olahraga, les dan kursus yang harus diikuti, semua dilakukan oleh mamanya. Rav menurutinya tanpa protes. 27 tahun hidup Rav dihabiskan dengan menunggu petunjuk demi petunjuk dari sang Mama. Kepercayaan Rav terhadap mamanya sulit tertandingi siapapun bahkan dirinya sendiri.
Pada satu hari biasa saja di bulan April yang mulai menghangat, datang kepadanya seorang Clementine. Gadis berambut panjang yang tak sengaja mengajaknya mengobrol di dalam bus yang akan membawanya ke Provence. Rambut brunnette, tidak tinggi untuk ukuran gadis bule, tapi melalui mata hijaunya, Rav tau jika Clemm adalah gadis yang memiliki potensi untuk dapat ia percayai setelah mamanya.
*****************************************************************************
Tok Tok Tok....
Rav menarik napas panjang, dan mendengus kesal. Lamunannya terhenti. Mata coklat gelap yang awalnya tampak kosong kini ia pejamkan rapat. Rupanya upaya untuk meredamkan rasa kesal.
Lagi pintu itu diketuk kasar.
"Rav...hoiiiiii....haloooo...Rav..... Ini Kale, buka pintu dong." Suara cempreng khas tetangga sebelahnya yang dibarengi dengan bunyi ketukan di pintu tak terputus.
Rav bergeming. Masih duduk di kursi pianonya. Jarinya tak sedang menekan tuts piano alih - alih menekan pelipis. Entah apa yang dipikirkan.
Hingga akhirnya menyerah, dan beranjak menuju pintu penghalangnya antara rumah dan dunia luar tempat sumber keberisikan berasal.
Memang sudah 2 minggu ini, tetangga Rav yang mengaku bernama Kale, kerap datang. terkadang di pagi hari sambil membawakan sarapan, atau siang hari membawakan makan siang atau sekedar buah - buahan segar, tapi tidak malam hari. Karena di malam harilah Rav sangat produktif di depan pianonya. 2 Minggu yang berisik buat Rav, 2 minggu yang menyiksa. Rav yang sedari awal memutuskan pindah dari Jakarta ke kota kecil Pulau Lombok sebulan lalu ingin menjauhi hiruk pikuk dan kebisingan juga masalah yang ia hindari, kini harus berhadapan dengan sesuatu yang tidak mampu ia definisikan. Kalea Mataangin.
Rav membuka pintu dengan kasar dan dengan sengaja membukanya lebar - lebar, yang mengakibatkan Kale hampir mendarat dengan wajah menghadap ke lantai. Tapi rupanya keseimbangan Kale jauh lebih baik dibanding harapan Rav.
"Hei, Rav...huft hampir aja tumpah semua nih makanan." Kale mengangkat kotak bento kayu berwarta hitam tinggi - tinggi, seakan - akan Rav tidak melihat bento besar yang bisa menampung makanan untuk 4 orang.
"Nih makan siang. Hari ini menunya kentang tumbuk loooh yang pake susu gitu, ala bule - bule deh. Pasti suka."
Rav tidak tersenyum. Rav tidak pernah tersenyum di depan Kale. Ia ingin protes. Tapi malas. Toh selama ini makanan yang diantarkan masih memnuhi seleranya. Dan ia tidak perlu capek - capek memasak, atau pergi keluar mencari rumah makan untuk sekedar menahan perutnya agar tak berbunyi.
"thanks..." ucapnya singkat. sama seperti hari - hari biasanya.
"you're most welcome, Rav. Eh bleh request lagu ya buat ntar malam, pliiiissss."
Rav mengatupkan kedua bibirnya rapat, seolah - olah menahan rasa tidak nyamannya.
"Pasti kamu bisa kan. Rachmaninoff yang Piano Concerto No.2"
Rav menutup mulutnya dengan telapak tangannya, matanya tampak kaget. Namun, Rav berhasil menyembunyikan rasa kagetnya. Seketika ia mengambil bento dengan kasar dari tangan Kale.
"Thanks ya, kotaknya ditinggal aja, nanti saya kembalikan." Dengan kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Rav kepada Kale siang itu, pintu pun kembali tertutup. Menutup Rav sekali lagi dari dunia luar. Meninggalkan Kale sendiri di luar terdiam karena bingung, sedang mencerna metode pengusiran Rav yang paling tidak ramah sepanjang kunjungannya selama ini.
"Biasanya juga ga gini - gini amat", pikir Kale, "kemarin - kemarin juga request, trus dimainin kok malamnya. Apa mungkin dia kelaperan ya, malu kali mau makan siang tapi ga tau ngomongnya gimana. Atau mungkin sungkan kali ya, tiap hari dikirimin makanan, kasian juga kalau ga dikirimin, ga ada orang tuanya, ah serba salah deh". Tiap langkah menuju rumahnya, Kale mampu menemukan asumsi baru mengenai sikap Rav yang dia anggap tidak biasa.
Sementara Rav masih terduduk lesu membelakangi pintu, tak berubah posisi sejak ia mengusir Kale.
Rachmaninoff, Piano Concerto No.2. Iya komposisi itu yang selalu membuat Rav depresi. Bukan karena ketidakmampuan memainkannya. Tapi lebih kepada kenangan pada tiap barnya.
Segera ia beranjak menuju grand pianonya. Jari -jarinya ia tari-kan dari satu tuts ke tuts lainnya. Suffocation milik Chopin di siang hari bukanlah tanpa alasan. Ia tahu bahwa tak bisa selamanya mengurung diri dari dunia luar tanpa komunikasi kepada siapapun. Masalahnya tak akan pernah selesai dan terlupakan dengan mengasingkan diri seperti yang ia lakukan hampir 2 bulan lamanya.
Namun ia belum siap.
Rav belum siap.
Dunia luar yang selama ini dia kenal pun belum siap.
Mungkin hanya pada waktu saat ini yang sanggup ia percayai untuk menyiapkan mentalnya.
Mungkin....
Komentar
Posting Komentar